Rabu, 28 Juli 2010

”IDEALISME DAN REALISME” Dua Identitas dalam Satu Tubuh: Sebuah Kritik Poskolonial terhadap Novel Atheis Karya Achdiat K Mihardja


Kritik Poskolonial merupakan kritik baru yang muncul pada tahun 90an. Kritik ini muncul dan terkenal dengan pengaruh buku-buku seperti : In Other World (Gayatri Spivak, 1987); The Empire Write Back (Bill Aschroft, 1989); Nation and Naration (Homi Bhabha, 1990); dan Culture and Imperialism (Edward Said, 1987).

Poskolonialisme sangat menentang universalitas dalam karya sastra. Ini berarti, segala bentuk penyamarataan, penunggalan, dan penghakiman standardisasi yang sama pada karya sastra merupakan hal yang saling bertolak belakang dengan Poskolonial. Menurut Edward Said (1978). kritik ini berupaya untuk mengidentifikasi Timur sebagai “Liyan” dan inferior bagi Barat. Pada hakikatnya, Timur menjadi tempat proyeksi aspek-aspek diri di mana Barat tak mau mengakuinya. Dalam arti lain, Timur memiliki wilayah eksotik, mistik dan menggairahkan.




Peter Barry dalam bukunya Begginning Theory, memberikan pemaparan tentang bagaimana karakteristik Kritik Poskolonial. Penulis Poskolonial menggugah atau menciptakan versi pra-kolonial bangsa mereka sendiri, melawan versi modern dan kotemporer, yang dicemari oleh status kolonial bangsa mereka. Maka, ini merupakan karakteristik pertama kritik poskolonial – sebuah kesadaran akan representasi Eropa sebagai “Liyan” yang tak bermoral.

Yang kedua, yang menjadi perhatian atau karakteristik kritik poskolonial ini adalah mengenai bahasa. Beberapa penulis poskolonial menyimpulkan bahwa bahasa penjajah secara permanen disusupkan, dan untuk menulis dalam bahasa tersebut. Dalam hemat saya, Bahasa Penjajah menjadi bahasa pelengkap bagi bahasa yang ada. Di mana biasanya bahasa penjajah lebih berwibawa dibandingkan dengan bahasa sendiri.
Yang tak kalah menarik mengenai karakteristik kritik poskolonial ini adalah masalah identitas ganda. Di mana akan adanya seseorang dengan dua identitas baik sebagai penjajah maupun sebagai yang terjajah. Identitas sebagai sesuatu yang ganda, atau hibrid, atau yang tak stabil merupakan karakteristik ketiga dalam kritik poskolonial.
Silang budaya juga masuk dalam karakteristik kritik poskolonial. Artinya selain ketiga karakteristik di atas, silang budaya merupakan karakteristik keempat yang ada pada kritik poskolonial ini. Dalam silang budaya ini, mencoba membuka tabir bahwa semua karya sastra poskolonial tampaknya menunjukan adanya transisi budaya. Fase pertama, ambisi penulis untuk mengadopsi bentuk sebagai tempat berpijaknya. Fase ini dinamakan fasa “Adopt (mengadopsi)”. Kemudian mengadaptasi bentuk tertentu untuk masuk ke dalam bentuk yang ada. Fase ini dinamakan fase “Adapt (mengadaptasi)”. Setelah mengadaptasi, adanya deklarasi secara mandiri untuk membuat bentuk yang baru berdasarkan spesifikasi sendiri tanpa spesifikasi bentuk lain. Fase terakhir ini dinamakan fase “Adept (Mahir)”.

Achdiat K Mihardja: Penyair yang berfilsafat

Tidak banyak, namun juga tidak sedikit Dari sastrawan Indonesia yang mengomentari siapa Achdiat itu. Dia memang bukan pengarang yang subur. Tetapi, ''Tiada disangsikan lagi, ia seorang tokoh sastra Indonesia yang penting,'' kata Prof. Dr. A. Teeuw, pengamat dan komentator sastra Indonesia yang tekun. Pernah menjadi wartawan dan pegawai Balai Pustaka, setelah 1945 ia bergaul dengan Chairil Anwar di lingkungan orang-orang Republik, dan ''Dari segi politik amat dekat kepada Sjahrir dan PSI,'' Teeuw menambahkan. Belasan buku lahir dari tangannya, meliputi roman, kumpulan cerita pendek, sandiwara, terjemahan, bahkan renungan filsafat. Namun, yang paling termasyhur adalah roman Atheis, yang ditulis sekitar Mei 1948 Februari 1949. Inilah roman pertama Indonesia sesudah Perang yang benar-benar menarik, ''Suatu percobaan nyata untuk menghasilkan karya sastra bermutu,''

Kelebihan dari Akhdiat menurut Sapardi Djoko Damono, adalah pada saat novel Atheis diluncurkan itu, dalam usia yang cukup belia dia telah berhasil mengemukakan suatu pemikiran yang barangkali belum terlintas dalam pikiran orang Indonesia pada umumnya. Kelebihan lainnya adalah dalam usia yang sudah uzur masih bisa menghasilkan suatu karya Kispan (kisah panjang) religius “Manisfesto Khalifatullah”. Dimana buku tersebut ditulis dalam keadaan mata penulisnya nyaris buta.

Dalam karya Atheis yang menjadi karya besarnya. Banyak sekali pemikiran-pemikiran yang merupakan bagian dari filsasfat. Berikut kutipan-kutipannya:

Di dunia tiada yang tetap, tiada yang kekal, tiada yang abadi. Segala-gala serba berubah, serba bergerak, serba tumbuh dan mati. Yang abadi hanya yang Abadi, yang tetap hanya yang Tetap, yang kekal hanya yang Kekal. (Atheis, 1990: 7)

Achdiat dengan jelas memasukan unsur-unsur filsafat dalam novel atheisnya ini. Ayah dari Jamie Aditya (aktor dan penyanyi yang terkenal lewat MTV) ini menggambarkan bagaimana pandangan tentang hidup. Pada kutipan ini berarti memuat falsafah hidup.

Umur manusia singkat, tapi kemanusiaan lama, begitulah katanya, lupakanlah segala kesedihanmu itu dengan lebih giat lagi bekerja. Bekerja untuk kemanusiaan......" (Atheis, 1990: 10)

Achdiat yang lebih suka dipanggil Aki ini memberikan muatan falsafah kemanusiaan. Menurutnya hidup harus bermakna bagi semua orang. Maka Ia katakan bahwa bekerja untuk kemanusiaan. Karena kemanusiaan itu akan selalu hidup walaupun raga manusianya telah mati.

"Tahu adalah berarti bahwa kebenarannya tidak bertentangan dengan akal dan pikiran. Di luar itu adalah "pengetahuan tambahan"
(Athesi, 1990: 154)

Sastrawan Indonesia yg lahir di Garut 6 Maret 1911 ini, juga memberikan pandangan filsafat tentang “Tahu” dan “Hayal”. Ini berarti sifat manusia itu adalah mau tahu semua. Kalau ia tidak tahu, semua dibuatnya sendiri "kira-kira"; dibuat hipotesis atau dibuat kepercayaan seperti hal-hal yang gaib dalam agama. Dan kira-kira, hayal, hipotesis dan kepercayaan itu adalah hanya "penambah" semata-mata kepada pengetahuannya yang terbatas itu. Penambah yang dibuatnya sendiri. Penambah untuk menenteramkan nafsunya yang ingin tahu semua.

Teknik nyata, tegas konkret. Tapi Tuhan samar-samar, kabur-kabur, melambung-lambung ke daerah yang tak tercapai oleh akal, ke daerah yang gaib-gaib, yang tidak ada bagi kami. (Atheis, 1990: 117)


Kutipan di atas merupakan falsafah tentang “yang nyata” dan “yang gaib”. Masalah ini banyak disinggung oleh para filosof, di antaranya adalah Plato, Socrates dan Aristoteles. Mereka membagi alam menjadi dua bagian. Yang pertama adalah Mind (Hal-hal gaib) dan Matter (Hal-hal nyata). Mind membicarakan hal-hal yang ghaib seperti ketuhanan yang merupakan hal-hal hayal. Sedangkan Matter membicarakan hal-hal yang nyata yang ada di dunia ini. Pendek kata, hal-hal yang mengenai kenyataan alam yang didasarkan atas keadaan yang nyata pula. Seperti masyarakat miskin akibat dari ekonomi yang tak teratur. Ekonomi yang tak teratur akibat dari tak adanya perdamaian antara manusia. Tak adanya perdamaian antara manusia akibat dari manusia yang berkelas-kelas. Demikian seterusnya.

Dalam teknik bercerita, Achdiat merupakan penulis yang sangat pandai. Teknik yang digunakan berbeda dengan yang lainnya. Bagian pertama yang biasanya menjadi pembuka, namun ia menggunakannya sebagai penutup. Pada dasarnya bab pertama itu merupakan bab penutup. Inilah yang membedakannya, karena teknik ini jarang digunakan pada zamannya.
Kekhasannya dalam bermain teknik bercerita juga diamini oleh HB. Jassin. Dalam kritiknya yang membahas novel Di bawah lindungan Ka’bah karya HAMKA dan Atheis ini, HB Jassin mengatakan bahwa Teknik bercerita Atheis mirip di Bawah Lindungan Ka’bah. Tokoh utama seolah-olah “saya” pertama (pengarang). Hasanlah sebenarnya tokoh utama. “saya” berkenalan dengan Hasan. Hasan kemudian memberikan sebuah naskah kepada “saya” pertama. Dalam Roman itu, Hasan memakai “Saya”. Begitulah bagaimana HB. Jassin mengamininya. Hemat saya, “saya” dalam tokoh ini ada dua dan saling bergantian. Pada bab pertama “saya” adalah penulis sendiri. Kemudian bab-bab selanjutnya yang menjadi “saya” adalah Hasan. Namun di bagian akhir, “saya” kembali milik si penulis.

Tapi yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa Achdiat menggunakan teknik yang jarang digunakan pada zamannya? Dalam sebauh essai tentang Atheis, dikatatakan bahwa Teknik yang demikian adakalanya membingungkan. Tentunya teknik yang demikian dengan ada maksud, yaitu supaya pembaca mengatahui bagaimana tokoh utama (Hasan) menemui ajalnya.

Atheis: Mencari Kebenaran Hakiki dalam Dua Identitas

Kritik poskolonial, seperti yang telah saya paparkan sebelumnya, berupaya untuk membuka berbagai perbedaan budaya dalam satu ruang tersendiri. Seperti umumnya pada karya-karya yang berbau kolonial, di mana goresan-goresan penjajah selalu terbawa di dalamnya. Budaya-budaya yang ada pada penjajah dipaksakan untuk hadir di dalam diri subyek. Bagaimana subyek harus mengikuti arus sang dominan. Dengan kata lain, subyek sebagai “yang dijajah” – yang digambarkan dengan segala kelemahan yang ada – harus menjadi seseorang yang berbeda sesuai dengan apa yang dikehendaki “si penjajah”. Memang dalam karya-karya seperti itu, pengaruh si penjajah sangat besar terhadap pemikiran dan kehidupan yang dijajah.

Hal-hal seperti tadi terepresentasikan dalam Atheis ini. Bagaiamana Hasan merupakan seseorang yang taat beribadat. Selain itu, ia mengikuti tarekat yang dianut bapaknya. Selain ia, yang menjadi representasi dari sebuah tradisi ialah ayah dan ibunya. Di mana kala itu, tarekat menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat Cianjur yang merupakan tempat asal Hasan lahir. Sebagai agen sebuah tradisi, ia berusaha untuk mengembalikan teman-temannya ke jalan yang benar.

Mesti! Mesti! Aku mesti bikin mereka sadar akan kewajiban sebagai orang-orang Islam! (Atheis, 1990:55)

Kutipan di atas sangat jelas betapa Hasan sangan berpegang teguh terhadap agamanya. Sehingga Mereka (Rusli dan Kartini) dianggapnya telah menyimpang dari ajaran agama. Namun ternyata waktu berkata lain. Seiring perkembanngan cerita, Hasan harus tunduk dan mengikuti apa yang dibawa oleh tokoh-tokoh yang merepresentasikan generasi modern yang atheis seperti Kartini yang dianggapnya sebagai jalan bagi seorang Rusli agar dapat membawanya ke arah atheis. Selain Kartini banyak tokoh-tokoh lain yang mengakibatkan dirinya melupakan ajaran agama. Rusli, Anwar dan bung Parta merupakan tokoh antagonis yang sangat berpengaruh terhadap pendiriannya. Terlebih ketika mereka mengemukakan tentang Tuhan.

Pandangan Rusli Tentang Tuhan
......Tuhan tidak ada saudara! (Atheis, 1990: 67).....agama dan Tuhan itu ciptaan manusia sendiri, hasil atau akibat dari sesuatu keadaan masyarakat dan susunan ekonomi pada suatu zaman (Atheis, 1990: 75)

Pandangan Anwar tentang Tuhan
Tuhan itu madat (Atheis, 1990:104). Oleh karena itu, bagiku, Tuhan itu adalah aku sendiri, manusia, bukan teknik dan mesin-mesian (Atheis, 1990: 117)

Pandangan bung Parta tentang Tuhan
“tekniklah Tuhan kita” (Atheis, 1990: 116)


Dengan demikian, runtuhlah segala keyakinan yang telah ia pupuk sejak kecil. Ia berubah dari subyek yang memresentasikan tradisi ke subyek yang memresentasikan generasi modern. Inilah yang disebut silang budaya yang menjadi karakteristik kritik poskolonial.
Sebelumnya telah dijelaskan bagaimana silang budaya ini terjadi, yakni dengan adanya transisi dengan melalui beberapa fase. Pada fase Adopt, Hasan terus diberikan muatan-muatan budaya barat oleh tokoh-tokoh antagonis yang mengusung faham marxis. Pada fase kedua yakni Adapt, Hasan mulai bimbang akan tradisinya menjaga keyakinan agama dan mulai menerima akan muatan-muatan budaya barat tersebut. Dan pada fase terakhir, fase Adept, Hasan melepas tradisinya dan mulai membiasakan terhadap budaya barat yang pada puncaknya Ia berbeda keyakinan dengan kedua orang tuanya sehingga Ayahnya sakitn karena saking terkejutnya sampai meninggal
Di mana letak identitas Hasan yang ganda? Hasan merupakan subyek “yang di jajah” yang memegang erat tradisi sehingga identitasnya yang pertama adalah identitas terjajah. Ini merupakan identitas Hasan yang pertama. Setelah Hasan terbawa ke dalam atheismenya Rusli, Hasan memiliki idenitas lain, identitas seorang penjajah. Karena budaya yang ada pada barat, ia ambil dan ia amini. Maka identitas ini merupakan identitas Hasan yang kedua.
Selanjutnya, pada kritik poskolonial, bahasa merupakan bagian penting. Bagaimana bahasa disusupkan ke dalam novel merupakan gaya tersendiri bagi pengarangnya. Dalam poskolonial, menyoroti bagaimana bahasa penjajah masuk ke dalam bahasa pribumi.

Is toch geewon badutisme, nietwaar? (Atheis, 1990: 103)
Iik ben een god in het diapst van mijn gedeachten (Atheis, 1990:104)
Herlijg zag! Gestolen vruchtensmaken inderdaad zoet! (Atheis, 1990: 162)

Kutipan-kutipan di atas merupakan bahasa asing yang digunakan. Karena pada waktu Cerita ini pada tahun 45an, maka bahasa yang ditampilkan Achdiat adalah Bahasa Belanda. Masih banyak Bahasa Belanda yang lainnya dalam novel Atheis ini. Dan tokoh yang sering menggunakan Bahasa Belanda adalah Anwar. Selebihnya, tokoh-tokoh lain jarang menggunakan bahasa asing. Mungkin tokoh Anwar memang telah dibuat sedemikian rupa agar mendapatkan penokohan yang kuat dalam diri anwar yang memang menganggap dirinya Tuhan. Tokoh anwar memang menjadi tokoh yang membelokan cita-cita tokoh utama (Hasan).

Bahasa memang bisa dijadikan alat ukur derajat sosial pada waktu itu. Bahasa Belanda hanya bisa dipelajari oleh orang-orang berpendidikan. Dan orang yang berpendidikan adalah orang yang setidaknya memiliki kekuasaan dan jabatan. Sehingga pada waktu itu, orang yang berbahasa Belanda dianggap lebih terhormat.
Penokohan dalam tokoh-tokoh di dalam Atheis ini begitu kuat, terutama pada tokoh Rusli. Walaupun tokoh Rusli ini tidak begitu dijelaskan bagaimana penokohannya. Namun sebagai pembimbing Hasan ke Faham Atheis ini sangat besar pengaruhnya. Ketenangannya berbicara membuat Hasan merasa takjub dan itu membuat Rusli tampak lebih berpengetahuan.

Rusli sangat tenang suaranya, seperti biasanya kalau ia sedang menguraikan sesuatu soal. Dan mungkin pula, karena di dalam pergaulan akhir-akhir ini yang makin erat itu, perasaan kurang harga diri terhadap dia sudah bertambah besar padaku, maka aku pun sekarang kurang berani untuk membantah sesuatu teori atau pendapatnya. Prasangka, bahwa Rusli "lebih tahu" dari-padaku, sudah bertambah dalam mencekam dalam jiwaku. Maka aku pun cuma mendengarkan saja. (Atheis, 1990: 105)

Dengan ketenangnya itu, lambat laun Hasan masuk ke dalam dunia marxisme yang tak lain adalah dunia Atheis, dunia tanpa Tuhan.

Kartini, yang digambarkan sebagai seorang wanita dengan segala kesempurnaanya. Memiliki tubuh yang indah dan selalu menggunakan pakaian yang modern. Kartini digambarkan sebagai wanita yang baik di mata Hasan.

...Dia sangat cantik, sangat ramah dan sangat lincah dalam meladeni aku dan Rusli..(Atheis, 1990: 167)

Namun pada perkembangan cerita, Kartini selanjutnya digambarkan sebagai wanita yang berjiwa kecil. Di mana ketika menemukan foto-foto dalam bukunya Hasan, menjadi lupa diri dan menyia-nyiakan Hasan.

Sejak peristiwa surat-surat itu, rupanya Kartini selalu merasa, bahwa seakan-akan ada suatu tembok di antara dia dan aku. Ia sangat mudah tersinggung hatinya. (Atheis, 1990: 169)

Tokoh yang tak kalah penting dalam novel ini adalah Anwar. Entah apa di dalam pikiran penulis ketika menggambarkan tokoh Anwar ini seperti Chairil Anwar. Tapi tak dapat disangkal bahwa tokoh ini menyerupai Chairil dalam beberapa hal jeleknya. Seorang yang sangat individualis dan tidak tahu sopan santun.

Pendeknya tepat juga, kalau Rusli menamakan Anwar itu seorang individualis anarkhis. (Atheis, 1990: 130)

Dan Anwar adalah kambing hitam di dalam novel Atheis ini. Dialah yang bertanggung jawab atas pertentangan yang timbul antara Hasan dan Ayahnya, dan dialah yang bertanggungjawab atas hancurnya hubungan rumah tangga Hasan dan Kartini.
Perubahan Hasan dari seorang alim menjadi seorang atheis merupakan klimaks dari cerita ini. Karena dalam prosesnya, begitu berat yang dirasakan Hasan. Bagaimana proses yang begitu memberikan beban berat bagi pikirannya. Sampai-sampai sembahyang yang biasanya dilakukannya dengan khusu. Setelah mengenal Rusli, Kartini, Anwar dengan dunia marxisme mereka, membuat sembahyangnya terganggu.

Sadar lagi aku bahwa aku sedang sembahyang. Jengkel, karena sekarang aku bersembahyang tidak seperti biasa. (Atheis, 1990: 45)

Puncak klimaksnya terjadi ketika Hasan mendengar pendapat tentang siapa itu Tuhan dari Rusli, Anwar, dan Bung Parta. Sehingga pada akhirnya dia harus besebrangan keyakinan dengan Orang tunya. Hingga pada akhir hayat bapaknya, si bapak tak ingin melihat wajah Hasan.
Hampir semua buku-buku Indonesia menggambarkan satu bentrokan. Bentrokan golongan muda dengan golongan tua, bentrokan yang dijajah dengan si penjajah dan Atheis ini menggambarkan suatu bentrokan pandangan hidup. Pada waktu itu sangat terasa sebagai suatu proses akulturisasi yang dialami bangsa Indonesia. Yaitu terdampar lepas oleh kebudayaan yang lama dan belum siap menghadapi kebudayaan yang lain. Dan novel ini tidak membawa penjelasan yang memuaskan dari bentrokan ini. Seolah-olah penulis sendiri tidak tahu bagaimana dia harus mengembangkan jiwa Hasan, sehingga penulis membuatnya meniggal begitu saja dan akhirnya meninggal dengan kata-kata Allahu Akbar.
Mungkin dengan ini penulis ingin memberikan kita gambaran tentang akhirnya orang Indonesia (secara umum bangsa Indonesia) akan kembali juga kepada ketuhanan. Tapi cara ini tidak menjajnjikan. Seperti dipaksakan ending ceritanya ketika Hasan tertembak oleh tentara Jepang. Cerita ini akan lebih menarik jika dibuat ending yang berbeda. Misalnya dengan membuat Hasan dibiarakan hidup dengan segala penderitaaan-penderitaan yang hebat dan dengan pengalaman pikiran dan perasaaan membuat dia memilih kepada ketuhanan kah pada akhirnya. Atau dapat menjadikan ia seorang atheis yang sebenarnya. Atau mungkin menjadi seorang individualis seperti seorang Anwar. Saya rasa itu akan lebih menarik.
KESIMPULAN
Mengaji keadaan Hasan dalam novel ini, kita dapat melihat bahwa Hasan Bukan Idealist dan bukan Realist. Awalnya Ia seorang idealist tetapi kemudian berubah menjadi seorang yang Realist. Oleh karena itu, Hasan di dalam novel ini berada di antara dua identitas tersebut, di antara seorang yang mengaku adanya Tuhan dan seorang yang tidak mengaku adanya Tuhan. Dengan demikian, jalan pikiran dalam novel ini tidak berakhir, sebagaimana yang seharusnya yakni jalan mana yang akan dipilih Hasan.
Tetapi bila kita pandang keadaan pemuda-pemuda Indonesia pada waktu itu, maka novel ini sangat sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh para pemuda itu. Di mana mereka ada dalam kebimbangan dalam menentukan pilihan hidup. Apakah akan memilih Jalan Realist ataukah Idealist yang akan dipilihnya.
Dengan membaca judulnya saja, dengan segera kita tahu bahwa cerita ini erat sekali hubungannya dengan suasana keagamaan. Novel ini sangat berani menggarap soal-soal yang kontras dengan mayoritas keyakinan Bangsa Indonesia, walaupun pada akhirnya tokoh utama kembali kepada keyakinan dan keimanan.














DAFTAR PUSTAKA

Achdiat Karta Mihardja diambil dari
Http://www.pdat.co.id/ads/html/A/ads,20030617-20,A.html
(Diunduh pada 28 juni 2010 pukul 13.35 WIB)
Achdiat K Mihardja diambil dari Http://wikipedia.co.id
(Diunduh pada 28 juni 2010 pukul 13.45 WIB)
Amal. 1949. Resensi: Atheis. Djakarta: Balai Pustaka
Barry, Petter. 2010. Begginning Theory: Pengantar Komperherensif Teori Sastra
dan Budaya. Yogyakarta: Jalasutra
Dari Atheis hingga Manifesto Khalifatullah, diambil dari
Http://www.ui.ac.id/id/news/archive/349 (Diunduh pada 28 juni 2010 pukul 13.32 WIB)
Edgar, Andrew and Peter Sadgwick. 2008. Cultural Theory: The Key Consept
(2nd Edition) New York: Routledge
Erowati, Rosida. Sang Liyan dalam drama Kwee Teek Hoay “Bunga Roos dari
Cikembang” (1927)
GR. 1950. Timbangan Buku: Atheis. Djakarta
Kutha, Nyoman Ratna. 2008. POSTKOLONIALISME INDONESIA: Relevansi
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sintuhan Filsafat: Resensi Roman Atheis oleh madjalah MASTIKA. Singapur
Yassin, HB. 1982. Di bawah Lindungan Ka’bah dan Atheis. Djakarta: Berita
Buana

Artikel Terkait:

Recent Post

0 komentar:

Posting Komentar

 

follow me via fb

Followers

Supported By

Pernah goblogging