Sabtu, 31 Juli 2010

MORALITAS DAN ASPEK SOSIAL DALAM NOVEL BUNGA ROOS DARI CIKEMBANG


Sebuah pesan moral tidak dapat lepas dari sebuah karya sastra, karena karya sastra tidak hanya sebuah karya seni belaka yang menyimpan keindahan semata bagi para pembaca maupun pengarangnya sendiri namun di dalamnya terdapat pesan-pesan sosial yang akan sangat berpengaruh bagi masyarakat. Karena bagaimanapun juga, masyarakatlah yang mengonsumsi suatu karya sastra. Oleh karena itu, apa yang terkandung di dalam suatu novel sedikit banyak mempunyai dampak bagi para pembacanya. Bahkan, karya sastra mempunyai potensi untuk menawarkan nilai-nilai dan norma-norma sosial baru yang membuka mata para pembacanya.





Novel Bunga Roos dari Cikembang (BRDC), merupakan karya Tionghoa yang dibuat sekitar tahun 1927 oleh Kwee Tek Hoay. Mengisahkan bagaimana hubungan antara etnis Tionghoa (yang pada waktu itu derajatnya lebih tinggi setingkat) dengan pribumi yang menjadi budak para Tionghoa. Cerita ini relatif bersifat heterogen. Hal ini dibuktikan dari latar belakang dan isi ceritanya. Karena politik Belanda, terutama konstruksi sastra Balai Pustaka, cerita ini dianggap sebagai “cerita liar”.

Kebiasaan para pegawai ataupun yang punya perkebunan dari etnis Tionghoa dan Belanda mempunyai nyai, atau istri simpanan.

Pernyaian identik dengan cerita-cerita asli dalam kesusatraan (pra) Indonesia. Pernyaian ketika itu mendapat pengesahan budaya dan sosial dari masyarakat secara umum. Selain sebagai pemuas kebutuhan seksual dan pelayan rumah, nyai dijadikan sebagai sarana pembelajaran budaya Melayu bagi bangsa Eropa untuk melanggengkan kekuasaannya. Nyai sering dijadikan sebagai mediator budaya, sosial, dan politik. Penyaian sendiri juga dikaitkan dengan alasan kesehatan, yakni untuk menghindari penyakit akibat hubungan pelacuran.

Cerita Bunga Roos Dari Cikembang (BRDC) ini adalah salah satu cerita yang bertemakan pernyaian dengan latar belakang masyarakat (peranakan) Cina di Indonesia (Sunda). BRDC ini mencerminkan latar sosial peranakan Cina di Sunda, sebagai pandangan pengarang tentang Buddhisme dan Theosophy.

Simbol Kolonialisme dalam BRDC

Marsiti adalah nyai dari Ay Tjeng. Dia dicitrakan sebagai perempuan Sunda yang halus, penurut, hemat, dan tunduk pada tuannya (hlm. 313). Marsiti, meskipun diperlakukan dengan baik, tetap sebagai Sang Lain bagi Ay Tjeng. Ay Tjeng berperan sebagai pihak Tuan. Dia membentuk citra Marsiti sebagai perempuan yang halus, domestik, dan patuh terhadap dirinya. Penempatan Marsiti yang dilakukan oleh Ay Tjeng ini mencerminkan strategi untuk menundukkan Marsiti.

Sebagai perempuan pribumi, Sunda, Marsiti dikondisikan sebagai kelompok termajinalkan yang layak menjadi nyai. Penundukan Marsiti dapat disimbolkan sebagai bentuk kolonialisme. Penundukkan itu bukan terletak pada batas wilayah melainkan pada ruang ideologi dan kultur melalui tubuh dan seksualitas perempuan (Marsiti). Hal ini erat hubungannya dengan kolonialisme.

Pernikahan sebagai alat perbaiakan status sosial

Tradisi dalam lingkungan budaya Tionghoa mengatakan bahwa perempuan harus patuh pada laki-laki. Gwat Nio menjadi alat bagi pihak laki-laki. Relasi yang terjadi antara Gwat Nio dengan Ay Tjeng merupakan relasi “tipu-tipu”an. Pernikahan yang dilakukan oleh Ay Tjeng merupakan sarana untuk meningkatkan derajat dan kekayaan keluarga Ay Tjeng.

Air mata yang jatuh ke kuburan menurut pandangan Tionghoa

Dalam novel BRDC ini, penulis berusaha menunjukan pada pembaca tentang budaya tionghoa menyikapi bagaimana air mata yang jatuh ke kuburan orang yang sudah mati. Menurut pandangan mereka bahwa air mata yang jatuh ke atas kuburan adalah sesuatu yang sangat berharga. Diibaratkan seperti berlian yang tak dapat dibeli dengan apapun. Seperti terlihat pada halaman 401

“ Itu air mati yang bercucur dalam keadaan yang begitu, dan air mata yang paling suci, dan sesuatu tetes ada berharga lebih besar dari mutiara yang paling indah dan mulia............................tapi air mata yang mengucur dari segenap hati yang tulus dan kecintaan yang suci, tidak bisa dibeli oleh harta dunia”

Pesan keadilan dari Marsiti

Selain terkenal dengan wanita sunda yang halus, penurut, hemat dan tunduk, Marsiti juga membawa pesan keadilan. Dalam BRDC dilukiskan bagaimana Marsiti sangat menyukai bunga yang selalu disia-siakan oleh banyak orang, bunga cente dan harendong. Kedua bunga itu selalu dianggap tak berharga. Namun baginya, kedua bunga itu sangatlah berharga dan tak dipandangnya sebelah mata.

“Marsiti kasih alesan, saliara dan harendong ada kembang yang tersia-sia, tida seorang yang perduliken, yang mau rawat atau kagumin, malah dibenci dan dimusuhin, sedeng sebetulnya itu kembang tida berdosa dan sampe bagus di pemandangan.” (h. 398)


KESIMPULAN

BRDC merupakan novel yang banyak mengandung pesan moral dalam sosial terutama bagaimana hubungan antara Etnis Tionghoa dengan Suku Pribumi (Sunda). Kita dapat lihat bagaimana moral Tionghoa yang menjadikan pribumi sebagai nyai (perempuan) atau menjadi budak mereka. Dan ini merupakan simbol-simbol dari kolonialisasi yang menghendaki adanya pendudukan dari segi manapun, baik pendudukan moral, ekonomi, dan kebudayaan.

Dunia di dalam karya sastra adalah sebuah dunia yang fiktif. Akan tetapi, dunia fiktif ini bisa jadi mengandung nilai-nilai yang menjadi alternatif dari nilai-nilai yang selama ini mendominasi di dunia nyata. Nilai-nilai yang ditawarkan oleh karya sastra ini bisa jadi lebih baik atau bahkan lebih buruk. Penilaian tersebut tentu tergantung pada masyarakat yang mengkonsumsi karya sastra yang dimaksud. Penulis mungkin tidak mempunyai hak untuk memaksa masyarakat menganut nilai-nilai dan norma-norma sosial tertentu. Ia hanya bisa menuangkan isi pikiran dan hatinya dalam tulisan. Namun, apa yang ditulis olehnya dapat menawarkan sesuatu yang baru yang sedikit banyak dapat mempengaruhi masyarakat, walaupun hanya dari segi emosional. Tidak bisa dipungkiri, itupun adalah kekuatan dari karya sastra.

DAFTAR BACAAN

Hadi, Muh. Sofin. 1997. Pengantar Kesusastraan. Serang: FKIP Bahasa dan
Sastra Indonesia Universitas Tirtayasa
Hoay, Kwee tek. 1927. Bunga Roos dari Cikembang. Batavia: Drukkerij Hoa
Siang In Kok
http://goodreads.com (diunduh pada 26 Maret 2010 pukul 19.15)
Susanto, Dwi. Abstarak tentang Redefenisi Nyai dalam Bunga Roos dari
Cikembang Karya Kwee Tek Hoay


Artikel Terkait:

Recent Post

0 komentar:

Posting Komentar

 

follow me via fb

Followers

Supported By

Pernah goblogging